Rabu, 10 Juni 2009

Mendudukkan Makna Ummah


Selayang Pandang
Ummah, istilah yang masuk dalam bahasa Indonesia dengan sebutan umat, merupakan konsep yang sudah sangat akrab dalam kehidupan masyarakat kita. Akan tetapi, sayangnya, sering kali dipahami secara keliru dalam pengertiannya. Barangkali karena terlalu dekatnya dengan masyarakat, istilah ini jadi terabaikan dan tidak dianggap sebagai pengertian yang ilmiah. Padahal, orientalis Montgomery Watt dan Bernard Lewis, membahas term ini secara serius dalam
tulisan-tulisannya..
Umat, dalam Ensiklopedi Indonesia, setidaknya mengandung empat macam pengertian, yaitu: (!) bangsa, rakyat, kaum yang hidup bersatu padu atas dasar iman/sabda Tuhan, (2) penganut suatu agama atau pengikut Nabi, (3) khalayak ramai, dan (4) umum, seluruh, umat manusia.Dalam terminology Islam, istilah “ummah” adalah sebuah konsep unik yang tidak ada padanannya dalam
bahasa-bahasa Barat. Kata ummah berasal dari amma-yaummu yang
berarti menuju, menumpu dan meneladani. Dari kata inilah, lahir beberapa kata
lain seperti umm, yang berarti “ibu” dan imam, yakni “pemimpin”.
Bila dicermati dengan teliti, keduanya sebenarnya memiliki persamaan yaitu
sama-sama tumpuan pandangan teladan, dan harapan bagi anggota masyarakat.
Dalam al-Qur’an, kata ummah dan jamaknya umam disebutkan sebanyak 64 kali, 52 kali diantaranya disebut dalam bentuk tunggal (mufrad) dan digunakan untuk berbagai pengertian. Sebagian besarnya termasuk ayat-ayat Makkiyah, sedangkan dalam ayat-ayat Madaniyah hanya 17 kali yang disebutkan dalam al Qur’an. Hampir semua kata ummah dalam ayat-ayat Makkiyah berarti bangsa, bagian dari bangsa atau generasi dalam sejarah. Selain itu, kata ummah juga dapat
menunjukkan kelompok, agama (tauhid), waktu yang panjang, kaum, pemimpin,
orang-orang kafir dan manusia seluruhnya.
Kalangan pemikir politik dan orientalis Barat mencoba memadankan kata ummah dengan kata nation (negara) atau nation-state (Negara-kebangsaan). Namun padangan ini dianggap tidak tepat untuk mewakili makna ummah dalam terminologi Islam. Bahkan terakhir, kata ummah dipaksa dipadankan dengan istilah community (komunitas). Term inipun, lagi-lagi tidak tepat untuk disamakan dengan term ummah. Menurut Abdur Rasyid Meton, guru besar ilmu politik Universitas Islam Internasional, Malaysia, terlalu menyederhanakan makna, bila membuat persamaan antara kata ummah dan community.

Ummah, Bukan Komunitas atau Nasionalisme

Menurut beliau, ada perbedaan prinsip antara kedua istilah ini. Komunitas adalah suatu kelompok masyarakat yang mempunyai perasaan bersama dan memiliki identitas komunal. Identitas komunal di sini maksudnya, kesamaan yang timbul dari unsur kekerabatan, kesamaan budaya, kesamaan wilayah, darah, suku atau kebangsaan, atau gabungan dari semua itu. Sedangkan ummah sama sekali tidak disandarkan atas dasar persamaan ras, bahasa, sejarah, wilayah geografis atau gabungan dari semuanya.
Ummah sifatnya universal, meliputi seluruh kaum muslimin, yang disatukan oleh ikatan ideology yang kuat dan komprehensif, yaitu Islam. Ummah adalah salah satu unsur penting dalam rangka mengaktualisasikan perintah-perintah Allah s.w.t, agar tercapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.
Karena ummah dilandasi semangat universalitas Islam yang tinggi, maka tidak dibenarkan pola nasionalisme yang sempit. Karena nasionalisme hanya menganggap tanah, wilayah, ras, darah dan semisalnya sebagai
pengikat di antara manusia. Sehingga jangkauannya akan sangat sempit, terbatas
pada wilayah-wilayah tertentu. Di samping itu juga, mudah terjadi perselisihan atau perbedaan antara ummah satu wilayah dengan wilayah lainnya. Dengan demikian, yang terjadi bukan lagi persatuan, namun sebaliknya justru perpecahan, ta’ashhub dan peperangan.
Esensi Ummah
Pertama, ummah memiliki kepercayaan kepada Allah dan keyakinan kepada Nabi Muhammad sebagai nabi terakhir, memiliki kitab yang satu (al-Qur’an) . Singkatnya, anggota ummah diikat oleh Islam. Ini yang membedakannya dengan kelompok-kelompok lain.
Kedua, Islam yang memberikan identitas pada ummah dan mengajarkannya semangat universalisme. Al Qur’an menjelaskan bahwa manusia seluruhnya adalah sama. Tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan manusia lain, kelompok satu dengan kelompok lain, kecuali ketaqwaan (Q.S. al Hujurât/49: 13). Oleh karenanya, Islam tidak mengenal adanya kelas sosial, kasta, warna kulit, bahasa sebagai pembeda antara manusia. Konsekuensinya, Islam menolak unsur pembatas-pembatas umat, apapun namanya.
Ketiga, karena sifatnya yang universal, dengan sendirinya ummah juga menyatukan antar anggotanya dalam hubungan organik. Dalam sebuah hadits disebutkan, umat merupakan satu tubuh yang utuh. Bila salah satu organnya sakit, yang lain pun ikut merasakan sakitnya. Bahkan, hubungan ini dapat mengalahkan hubungan darah dalam keluarga, lantaran tidak beriman kepada Allah. Saudara seiman, lebih mulia daripada saudara kandung tapi kafir. (Lihat: Q.S. al Hujurât/49: 10).
Keempat, atas dasar inilah, Islam berbeda dengan ajaran kolektivitas komunisme dan individualisme kaum kapitalis. Satu sisi, Islam memberikan kebebasan bagi pemeluknya untuk mencari harta sebanyak-banyaknya. Namun di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa dalam harta individu tersebut terdapat hak-hak orang lain (Q.S. al Ma’ârij/70: 24-25). Karenanya, Allah mewajibkan setiap hambanya untuk menunaikan zakat dan menganjurkan shadaqah sebagai salah satu langkah pemerataan ekonomi dalam masyarakat.





Umat Terbaik

كان الناس أمة واحدة فبعث الله
النبيين مبشرين و منذرين….
“Awalnya, manusia merupakan satu umat, kemudian Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan……………(Q.S. Al Baqarah/ 2: 213)
Menurut Ibnu Abbas, antara Nuh a.s dan Adam a.s selisih sepuluh abad lamanya. Selama berabad-abad itu, manusia terus menjalankan syariat Allah s.w.t dengan benar. Hingga, pada akhir abad sepuluh, umat Islam terjadi perselisihan dan pertikaian. Maka Allah mengutus nabi Nuh dan nabi-nabi lain sebagai pemberi peringatan dan khabar gembira.
Saat terjadi perselisihan dan pertikaian, Allah s.w.t terus mengutus para nabi dan rasul, hingga sampai pada masa Nabi Muhammad s.a.w, nabi terakhir, penutup akhir zaman. Pada masa ini, manusia pecah menjadi 73 umat (kelompok), dan umat Islam adalah sebaik-baik umat dan mulia di sisi Allah (H.R. Tirmidzy, menurutnya hadits ini hasan).

كنتم خير أمة أخرجت للناس……
“Kalian adalah sebaik-baik ummat diantara umat manusia…………… “
(Q.S. Ali Imran: 110)
Munurut Abu Hurairah, umat Islam adalah umat yang paling banyak memberikan manfaat kepada manusia dengan syariat islamnya. Namun Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat 110 surat Ali Imran ini, lebih cenderung berpendapat, yang dimaksud ummat dalam ayat ini adalah mereka yang hijrah pertama kali dari Makkah ke Madinah dan orang-orang yang bersaksi pada perjanjian Hudaibiyah.
Imam Mujahid memberikan komentar dalam menafsirkan ayat ini, menurutnya, umat Islam hanya dapat menyandang predikat khairu ummah apabila menjalankan ta’murûna bil ma’rûf wa tanhauna ‘anil munkar, yang disebutkan setelah kalimat kuntum khairu ummah dalam ayat tersebut. Sehingga, bila umat Islam tidak
melaksanakan amar ma’ruf dan nahi munkar, gelar khairu ummah, sekali-kali
tidak dapat disandangkan.
Dengan demikian, untuk menjadi umat yang terbaik, umat Islam tidak hanya bergantung pada simbol-simbol keislaman belaka, tapi juga harus disertai dengan aksi (amar ma’ruf dan nahi munkar) yang menunjukkan jati dirinya sebagai seorang muslim. Akhirnya, manfaat syariah Islam memang benar-benar dapat dirasakan semua manusia dan predikat khairu ummah dapat dibuktikan kepada dunia.




Daftar Pustaka

• Al Qurthuby, Muhammad bin Ahmad al Anshary, Tafsir Al Qurthuby, (Kairo: Dârul Kitâb al ‘Araby Litthaba’ah wan Nashr, 1967), Jilid 4.
• As Syaukâny, ‘Ali bin Muhammad, Fathul Qadîr, (Beirut: Dârul Ma’ârif, 1997), jilid 4.
• Iqbal, Drs. Muhammad, M.Ag., Fiqh Siyasah:Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gema Media Pratama, 2001).
• Katsir, Ibnu, Tafsirul Qur’anil ‘Adhim, (Beirut: Maktabatul ‘Ashriyyah, 2000), Jilid. I, hal. 241
• Shadili, Hasan, Pemimpin Redaksi, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve,1980), Jilid 6.
• Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an:Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar