Rabu, 10 Juni 2009

Islam dan Koalisi

Akhir-akhir ini di penghujung tahun 2008 timbul wacana koalisi antara parpol-parpol Islam, bahkan yang lebih fenomenal, wacana diperlukan adanya fusi beberapa partai untuk disatukan dalam satu wadah partai, guna mengembalikan citra politik Islam yang mana saat sini semakin jauh dari nilai dan norma keislamannya. (Jawa Pos Jumat 19 Desember 2008). Namun wacana ini tak selalu direspon positif oleh berbagai kalangan. KH. Hasyim Muzadi contohnya. Dia bersikap pesimistis dengan ide adanya koalisi ini yang disebut sebagai koalisi Poros Tengah jilid II. Beliau tampaknya setuju saja kalau memang ada figure atau tokoh yang dapat diterima semua kalangan.
Membicarakan politik Islam sebenarnya bukanlah diskursus baru dalam kajian ilmu sosial politik, terutama di Negara kita. Fenomena politik ini dapat kita lihat dengan bermunculannya partai-partai berhaluan Islam yang sebenarnya secara substansial mengusung kepentingan yang beragam, dan berangkat dari komunitas Islam yang beragam pula.
Kemudian dalam progresifitas dengan segala problem dan kepentingan yang melingkupi masing-masing partai, politik Islam dewasa ini mulai terdistorsi menjadi ajang pertarungan ideology kelompok dalam Islam yang diusung oleh masing-masing partai dengan melegitimasi agama dalam setiap manuver-manuver yang dilancarkan untuk menyerang partai Islam lain-yang mana secara tidak langsung sebenarnya menjadi boomerang bagi "Islam" sendiri. Alih-laih, akhirnya masyarakat Islam yang berharap agar aspirasi mereka terakomodir dan berharap dapat bebas dari penjara marginal yang di-diskriminasi oleh system atau kepentingan penguasa, mulai berbelok arah, menentukan sikap lain yang merugikan Islam secara politis dan sosialnya ke depan.
Dengan sikap masyarakat seperti inilah, kelompok-kelompok sekuler menemukan moment baru guna meruntuhkan jargon Islam yang sangat popular ketika berbicara Islam dalam politik: "Islam adalah agama dan Negara" (Al-Islam huwa Al-Diin wa Al-Daulah). Mereka mulai melancarkan gerakan de-Islamisasi politik (memisahkan Islam dari politik) dengan mengembangkan berbagai asumsi serta menyelenggarakan kajian-kajian social berkaitan dengan realita politik dalam Islam dewasa ini dan penerbitan berbagai buku yang berkaitan dengan hal ini. Sebagai contoh kajian-kajian yang diusahakan oleh comunitas 'Utan Kayu' atau Paramadina tentang konsep khilafah atau penerbitan buku-buku yang di antaranya Beyond Belief karya Robert N. Bellah guru dari Nur Cholis Madjid (Dalam buku ini Robert N. Bellah mengungkapkan sikap Islam dalam aspek social dan politik sebagai kajian sosiologi agama, yang kemudian menjustifikasi Islam secara histories sebagai agama yang kurang representative).
Akhir-akhir ini di penghujung tahun 2008 timbul wacana koalisi antara parpol-parpol Islam, bahkan yang lebih fenomenal, wacana diperlukan adanya fusi beberapa partai untuk disatukan dalam satu wadah partai, guna mengembalikan citra politik Islam yang mana saat sini semakin jauh dari nilai dan norma keislamannya. (Jawa Pos Jumat 19 Desember 2008). Namun wacana ini tak selalu direspon positif oleh berbagai kalangan. KH. Hasyim Muzadi contohnya. Dia bersikap pesimistis dengan ide adanya koalisi ini yang disebut sebagai koalisi Poros Tengah jilid II. Beliau tampaknya setuju saja kalau memang ada figure atau tokoh yang dapat diterima semua kalangan.
Berangkat dari sini, politik Islam yang seperti apa, sehingga benar-benar merepresentasikan sikap politik Islam? Dan koalisi bagaimanakah yang sebenarnya dapat menaungi semua parpol yang mengusung kepentingan yang berbeda-beda? Berangkat dari dua pertanyaan di atas, artikel ini mencoba mengungkapkan substnasi dari politik Islam yang selama ini didengungkan di mana-mana dan mencoba mengkaji, perlukah adanya koalisi antara parpol-parpol berbasis Islam atau bahkan fusi, seperti pada masa orde baru.

Substansi Politik Islam
Politik Islam dalam pengertiannya adalah, suatu tatanan pengaturan dan pemeliharaan urusan-urusan umat, baik yang berkaitan dengan urusan nasional dari masyarakat itu sendiri atau urusan yang berkaitan dengan hubungan internasional, yang sesuai dengan konsep syari'ah. Pengertian ini mengacu dari berbagai definisi yang di ungkapkan oleh para pakar dan ilmuwan Islam, di antaranya Prof. DR. Yusuf Qordhowi. Beliau mengartikan politik Islam (siyasah al-syar'iyyah) dari sisi pengertian umum (makro), seperti definisi di atas, dan dari sisi pemaknaan secara khusus yaitu, kebijakan yang di ambil dan dikeluarkan seorang pemimpin yang direpresentasikan dalam bentuk hukum-hukum atau ketetapan-ketetapan untuk menanggulangi kerusakan yang sedang terjadi atau untuk mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan atau memberikan solusi pada sebuah kasus tertentu (Prof. DR. Yusuf Qordhowi.Al-Siyasah Ak-Syar'iyyah. Maktabah Wahbah Cairo 1998. hal. 32).
Dari beberapa definisi dan pengertian di atas, politik Islam yang seharusnya diperjuangkan, adalah warna politik yang merefleksikan syari'ah. Imam Syafi'I menyatakan dengan tegas, bahwasanya tiada politik kecuali politik (strategi kebijakan) yang sesuai dengan syara'. Politik dalam Islam sendiri harus memperhatikan tiga asas sebagai landasan operasionalnya, yaitu maslahah 'ammah (kebijakan yang mengarah pada kemaslahatan umum), keadilan bagi semua kalangan, dan pemutusan suatu problem umat dengan metode syuro (musyawarah) guna mencari solusi yang relevan. Jadi apapun bentuk atau system politik yang dianut oleh suatu Negara, ketika memang memandang asas-asas di atas adalah strategi politik yang syar'I, (Lihat Siyasah Al-Syar'iyyah. Prof. DR. Yusuf Qordhowi. Hal.35) karena secara substansial syari'ah yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah merealisasikan maslahah atau kebijakan yang adil, yang mana tidak merugikan berbagai pihak.

وإن حكمت فاحكم بينكم بالقسط ان الله يحب المقسطين (المائدة : 42)

Maka putuskanlah (perkara itu) diantara mereka dengan adil, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil. (QS. Al-Maidah: 42)

ياأيها الذين آمنوا كونوا قوامين بالقسك شهداء لله ولو على أنفسكم أو الوالدين والأقربين إن يكن غنيا أو فقيرا فالله أولى بهما فلا تتبعوا الهوى أن تعدلوا وإن تلووا أو تعرضوا فإن الله كان بما تعملون خبيرا (النساء : 135)

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah, biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia (Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa. Lihat Tafsir Jalalain. Vol 2, hal, 135) kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. ( QS. An-Nisa: 135)
Ketiga asas itu pun belum cukup untuk memberikan identitas politik Islam. Karena dalam politik dan kekuasaan tidak lepas dari kebijakan dan hukum atau ketetapan, yang mana perlu adanya metode sebagai pedoman dalam memproduksi kebijakan dan hukum agar tidak timpang.
Metode yang dimaksud adalah konsep pengambilan hokum atau kebijakan yang didasarkan pada Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai dalil, yang mana nantinya dikenal dengan disiplin ilmu ushul fikih dan maqoshid al-syar'iyyah. Dalam metode ini perlu diperhatikan herarki pengambilan hokum dengan memprioritaskan Al-Qur'an sebagai tendensi awal, kemudian As-Sunnah. Lalu, ketika tidak disebutkan secara jelas (shorih) dalam keduanya, baru menggunakan perangkat ijma' atau analogi(qiyas) terhadap kasus yang ada dalam nash dengan mencari illat (ruh) dalam legislasi awalnya, untuk kemudian dikontekstualisasikan pada kasus yang sedang dihadapi. Selain itu, masih ada perangkat-perangkat yang lain seperti maslahah mursalah, 'urf atau saddu al-dzaroi'. Perangkat-perangkat dalam metode pengambilan hokum dan kebijakan ini dimaksudkan agar nantinya fungsi yuridis dari hokum yang akan diproduksi tidak bertentangan dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dan tidak menimbulkan ketimpangan ketika diaplikasikan.
Kekomprehensifan Islam dalam mencakup segala aspek kehidupan tidak diragukan lagi, termasuk aspek politik. Hal ini diakui oleh Dr. Schat. Dia mengatakan bahwa Islam dipahami bukan sekedar agama. Islam juga telah menggambarkan teori-teori hokum dan politik. Dia menambahkan, dari sejumlah pendapat menyatakan bahwa Islam adalah tatanan peradaban yang komplit, mencakup agama dan Negara secara bersamaan (Lihat The Encyclopedia of Social Science).
Jadi dapat disimpulakan, bahwa politik Islam adalah politik yang dilandaskan pada syari'at yang komprehensif dan menyeluruh dalam tataran konsep, metode oprasionalnya serta aplikasinya. Lalu bagaimana dengan fenomena pilitik di Indonesia? Apakah sudah sejalan dan inheren dengan apa yang telah digariskan oleh syari'ah, sehingga dapat dikatakan sebagai politik Islam?
Kita dapat melihatnya dari sikap dan kebijakan yang ditawarkan oleh partai-partai yang notebene berasaskan Islam atau kebijakan yang ditelurkan oleh wakil-wakil kita di DPR. Kalau kita mengatamati, sikap politik parpol-parpol Islam belum sepenuhnya islami dalam pandangan syari'I, yang mana sekedar apologi dalam berkampanye dengan melegitimasi Islam guna meluluskan kepentingan yang sebenarnya masih absurd. Tanpa mendiskriditkan parpol tertentu, dan muatan politis yang mereka usung( yang mana juga dipengaruhi berbagai factor), visi-misi "Islam" yang mereka usung, tidaklah memberikan efek positif yang signifikan bagi aspirasi masyarakat Islam saat ini, malah umat Islam Indonesia masih terkungkung dalam lembah marginal dan terpinggirkan dalam segala sector kehidupan.
Kemudian dari hal penentuan calon, tidak dipandang dari sisi kredibelitas dan kapabelitas individu calonnya, baik dari sisi kehidupan religiusitas, kecakapan atau skill dari si calon. Parpol-parpol Islam khususnya, dalam menentukan calon anggota legeslatif atau presiden, hanyalah berorientasi pada populeritas yang kosong. Sungguh ironi bukan?

Koalisi. Bagaimanakah Seharusnya?
Koalisi dalam politik, khususnya politik demokrasi, dipahami sebagai bentuk kerjasama non struktural antar kelompok atau partai guna membentuk kekuatan politis dengan tujuan mendongrak suara untuk kepentingan yang menjadi kesepakatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Koalisi dalam arti ini berbeda denga fusi (peleburan) beberapa partai atau kelompok yang mempunyai corak sama dalam satu wadah, seperti pada masa orde baru dengan meleburkan beberapa partai Islam dalam satu wadah yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan). Jadi, kolaisi merupakan kontruksi kerjasama tersendiri, yang mana dari masing-masing struktur bekerja sama dengan satu kepentingan, dengan cara menggalang suara sebanyak-banyaknya (tanpa memandang muatan-muatan masing-masing, karena memang ada satu atau dua titik kesamaan).
Sudah lazim dalam konsep demokrasi, bahwa sebuah keputusan dipengaruhi dan ditentukan oleh otoritas suara terbanyak. Jadi tidak heran, kalau suatu keputusan yang timpang sekalipun dapat di-gol-kan. Lalu, ketika suara-suara yang didapatkan partai minim, tak ada cara lain kecuali menggalang dukungan dari partai-partai yang mempunyai kepentingan sama untuk membentuk koalisi, sehingga keputusan atau ketetapan yang menjadi kepentingn bersama itu mendapat kemenangan dalam parlemen atau pemilu.
Koalisi seperti ini sebenarnya rentan dan cenderung rapuh dalam system demokrasi multi partai, memandang kepentingan bersama ini sifatnya temporal dan sarat kepentingan serta tidak didasari dengan kepentingan bersama yang jelas dan terbuka. Coba saja kita lihat koalisi beberapa fraksi setelah pemilu 1999 yang popular dengan poros tengan waktu itu, yang mana agenda utamanya mengegolkan Gus Dur menuju singgasana istana. Kemudaian, dikarenakan kebijakan atau cara pandang Gus Dur dengan beberapa unsure dalam kualisi berbeda dan kadang bertolak belakang, malah berbalik arah menghujat dan menghantam posisi Gus Dur sebagai presiden, di samping konsep awalya juga absurd dan tidak transparan.
Dalam Islam sendiri sebenarnya tidak pernah dikenal istilah koalisi. Namun ketika koalisi diartikan sebagai bentuk kerjasama antar kelompok guna mencapai tujuan bersama, maka memiliki arti sama dengan istilah tahaluf atau ikho' dalam terminology arab. Tahaluf sendiri adalah perjanjian kerjasama antar individu atau kelompok untuk saling bantu-membantu mewujudkan hal yang menjadi tujuan bersama. Kerjasama dalam Islam sering sekali direpresentasikan dalam bentuk koalisi persaudaraan atau perjanjian kontrak antar beberapa golongan. Namun konsep ini dipandang dari sisi kemaslahtan yang akan dicapai. Seperti ikatan persaudaraan antara komunitas Anshor dan Muhajirin pada awal sejarah pembentukan social-community di Madinah. Ikatan ini didasari dengan semangat taat (yang diproyeksikan dalam syari'at) dan menolak adanya kesenjangan social dengan cara menolong orang-orang tertindas. Imam Nawawi, mengungkapkan, " kualisi (antar kelompok) atas dasar ta'at pada Alloh dan menolong orang terindas, dan ikatan kerjasama persaudaraan, adalah hal yang baik." (Lihat "Fath Al-Baari". Ibnu Hajar Al-Asqolany. Vol 17. Maktabah Syamilah. Hal, 256).
Kemudian, dalam prespektif Islam sendiri, menjalin atau membentuk koalisi dengan partai-partai non-Islam (sekuler) tidak boleh, karena hal itu sama saja dengan mendukung dan menerima keputusan ala demokrasi barat yang berpijak pada suara mayoritas (meskipun menyimpang).( KH. Moch. Sa'id AR. Al-Imam fi Al-Intikhob Al-'Aam. Hal,12-13. Maktabah Al-Barokah. 2004) Namun, ketika memang kemaslahatan yang akan dicapai tidak bisa terwujud, kecuali dengan membentuk koalisi tersebut, maka dapat dibenarkan ketika dilakuakn sesuai kebutuhan dalam konteks daruratnya. Syaikh 'Izzuddin bin Abdissalam dalam bukunya 'Qowa'id Al-Ahkam' mengatakan:

"Terkadang diperbolehkan membantu sebuah kemaksiatan, bukan dari sisi kemaksiatan itu sendiri, melainkan karena maksiat itu adalah suatu perantara untuk mencapai kemaslahatan yang lebih besar." (Syaikh 'Izzudin bin Abdissalam.Qowa'id Al-Ahkam. Vol.1. hal, 87)

Imam Haromain mendasarkan pembahasan ini demi kemaslahatan menyeluruh bagi masyarakat Islam.( Imam Haromain. Ghiyats Al-Umam. Hal, 109)
Jadi koalisi beberapa partai dalam konteks politik, memandang ketentuan yang telah dipaparkan di atas boleh-boleh saja, asal memandang asas kemaslahatan yang akan dicapai dengan tetap berjalan pada rel yang telah digariskan oleh syari'at, dalam program atau kebijakan yang dibangun atas koalisi yang akan dicapai.
Dalam fenomena percaturan politik di Indonesia yang diwarnai dengan berbagai partai Islam, yang mana umat Islam, di sisi lain terpecah dalam beberapa friksi yang kadang sulit untuk disatukan, karena berbagai factor yang membelakanginya, perlu adanya formula yang bisa kembali menyatukan semangat wahdatul islamiyyah, guna mengangakat masyarakat Islam agar tidak dipinggirkan dalam pentas politik maupun social ekonomi, termasuk menjaga keeksisan Islam sendiri.



وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (المؤمنون :52)

Sesungguhnya umatmu ini, adalah umat yang satu, dan kami adalah tuhanmu sekalian, maka bertakwalah(kepadaku ). QS. Al-Mu'minun: 52
Memandang perlu adanya formula baru (sebagaimana wacana di atas) guna mengembalikan wahdatul islamiyyah untuk mencapai kemaslahatan bersama, mengembalikan umat Islam di Indonesia untuk menjadi kelompok yang mempunyai kekuatan dalam berbagai segi, dan memandang penyatuan masyarakat Islam, maka yang bisa dilakukan saat ini-mungkin-adalah kolaisi sebagai bentuk gradualisasi, menggalang kekuatan bersama untuk kemudian mengarah pada kesatuan yang sebenarnya. Jadi, ketika memang koalisi adalah solusi terbaik untuk tujuan di atas, kenapa tidak?
Namun, yang perlu perlu diperhatikan, harus ada sikap tranparansi dari beberapa partai dan perlu dilakukan peninjauan mendalam, ketika memang koalisi partai-partai Islam harus dilakukan, memandang hal ini adalah wilayah yang rentan dalam realita politik Islam di Indonesia. Dan hal ini juga memandang partai-partai Islam yang ada tidak bisa tidak, tetap dipengaruhi ideology dan muatan yang melatarinya, teruatama elite-elite partai yang memegang kendali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar