Rabu, 10 Juni 2009

SYURO


Ketika ayat ‘Syura’ (Q.S. Ali Imran/3 : 159) turun, Muhammad saw, mengetahui bahwa sistem syura telah menjadi suatu kewajiban yang include dalam tugas-tugas kerasulannya. Dia harus menjelaskan kepada masyarakat tanda-tanda yang diwahyukan kepada mereka (tentang bagaimana syura dilaksanakan). Dalam situasi demikian Muhammad saw. mampu menjelaskan relevansi nilai normatif syura dalam kehidupan sehari-hari umat kala itu dalam bentuk praksis.
Ayat al-Qur’an yang mewajibkan Rasulullah untuk menerapkan syura bukanlah ayat yang pertama tentang masalah itu; ayat tersebut telah didahului oleh ayat-ayat lain yang berbicara tentang hal yang sama. Jika Q.S. Ali Imran/3 : 159 adalah ayat madaniyyah, maka ditemukan ayat syura yang lain dalam ayat Makiyyah. Perbedaan antar kedua jenis ayat ini didasarkan pada fakta bahwa ayat madaniyyah menegaskan kewajiban (obligator),sedangkan ayat Makkiyah tidak menjelaskannya.
Menjelaskan fenomena al-Qur’an seperti itu tidaklah sulit. Penjelasannya akan berawal dari persepsi tentang situasi Rasulullah dan umat Islam di Mekkah dan Madinah. Di Makkah, umat Islam adalah minoritas, mereka ditindas, dan seruan (kepada Islam) harus dilaksanakan secara sembunyi-sembunyi. Situasi yang mereka hadapi menyebabkan mereka tidak bisa membangun institusi-institusi dengan otoritas atau kewenangan legislatif lain selain otoritas Tuhan.
Segala sesuatu berubah di Madinah, di mana umat Islam menjadi pemerintah yang berkuasa. Mereka menjadi kekuatan baru yang berusaha untuk membangun kembali kehidupan dari awal dengan fondasi yang baru, fondasi-fondasi yang didirikan berdasarkan wahyu. Rasul dan para sahabatnya mengembangkan rincian-rinciannya dan membuat legislasi yang didelegasikan Tuhan kepada Rasul dan umat Islam. Situasi di Madinah sudah sedemikian rupa sehingga memungkinkan pendirian lembaga-lembaga legislatif menurut tuntunan al-Qur’an, sehingga Rasul sendiri merasa mendapat mandat untuk membangun lembaga-lembaga tersebut, dan kondisinya sangat memungkinkan di periode Madinah. Maka, Rasulullah mendirikan lembaga legislatif tersebut sebagai respon terhadap al-Qur’an.
Selanjutnya Rasulullah membentuk lembaga legislatif berdasarkan al-Qur’an surat an-Nisa’/4 : 83. Pada Q.S. Ali Imran/3 : 159 mewajibkan Rasulullah untuk membangun institusi syura (lembaga legislatif), lalu Q.S. an-Nisa’/4 : 83, mengkhususkan bidang-bidang kegiatan lembaga ini, yang secara simultan mengkhususkan bentuk kegiatan atau tindakan mana yang harus diambil. Bidang-bidang kegiatan tersebut menyangkut masalah keamanan, ketertiban dan semacamnya. Dan bentuk tindakan yang diambil adalah merujukkan masalah-masalah yang muncul kepada Rasulullah dan Ulul Amri, sehingga dapat diselesaikan masalah-masalah itu sesuai dengan asas kepentingan umum (mashlahah ammah).
Pendelegasian otoritas Tuhan tentang masalah-masalah duniawi kepada umat Islam, dan mereka menerima pendelegasian itu dalam kerangka kemaslahatan umum, dapat membantu memahami maksud ayat al-Qur’an sebagai berikut :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan (kepada Nabimu) sesuatu yang, jika diterangkan kepadamu, menusahkan kamu. Tetapi jika kamu menanyakan ketika al-Qur’an itu sedang diturunkan, niscaya akan diterangkan kepadamu. Allah memaafkan apa yang sudah lalu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sebelum kamu dulu sudah ada golongan yang menanyakan hal-hal demikian, lalu mereka menjadi kafir.” (Q.S. al-Maidah/5 ; 101-102)
Ayat tersebut berbicara tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa hidup Rasulullah saw. Ketika untuk pertama kali umat Islam datang kepada beliau dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai masalah yang tidak dapat diselesaikan, memintanya untuk menjelaskan pandangan agama mengenai masalah ini. Rasulullah lalu meminta petunjuk Allah dan memohon agar diturunkan ayat yang akan menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan menjawab permintaan mereka. Al-Qur’an kemudian meminta mereka agar berhenti mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada Rasulullah yang memerlukan wahyu untuk menjawabnya.
Menyerahkan permasalahan-permasalahan kepada umat menyebabkan mereka berkembang dan tumbuh, dan mendorong munculnya perubahan dalam masyrakat. Mengembalikan persoalan kepada langit dan menunggu wahyu yang akan meberikan sebuah titik pandang dalam sebuah masalah tertentu, hanya aanmemberikan keputusan yang konstan dan stagnan, tidak dapat membawa perkembangan dan perubahan.
Dalam banyak hal dan kesempatan, al-Qur’an mewajibkan Rasulullah untuk meminta saran kepada para sahabatnya, untuk memutuskan dengan mereka bagaimana mencapai kepentingan umum, dan untuk melaksanakan putusan tersebut tanpa menunggu wahyu. Dalam hal ini pernyataan Allah “Dan ketika kamu telah mengambil keputusan, bertawakallah kepada Alah” (Q.S. Ali Imran/3:159), berarti : laksanakan keputusan ini tanpa menunggu wahyu Allah .
Musyawarah, oleh para pemikir modern, dianggap sebagai doktrin kemasyarakatan dan kenegaraan yang pokok, tidak saja karena jelas nash-nya dalam al-Qur’an, tetapi juga karena hal ini diperkuat oleh hadis, serta merupakan sunnah atau keteladanan Nabi . Para pemikir politik modern mengacu kepada bentuk-bentuk musyawarah yang telah berkembang di zaman modern, yang sudah tidak akan ditemukan secara persis contohnya pada awal perkembangan Islam. Misalnya munculnya lembaga legislatif (parlemen) yang belum ada pada zaman Rasulullah sampai zaman pertengahan.
Lembaga musyawarah itu sendiri memang pernah ada pada zaman Rasulullah, walau bentuknya berbeda-beda. Bahkan lembaga ini sudah ada sebelum Islam muncul di jazirah Arab. Pemikiran di sekitar konsep ini, dapat dijumpai di berbagai tempat, misalnya di Yunani dan Romawi Kuno. Pada zaman itu, gagasan tentang suatu pemerintahan republik atau demokrasi perwakilan timbul dan selalu hidup di berbagai negara-kota, dalam rangka menentang pemerintahan tiran di dalam negeri, dan dalam melawan despotisme Timur yang diwakili oleh Imperium Persia.
Seorang ahli tafsir Syi’ah, Syekh Abu Ali al-Fadlal, dalam kitab tafsirnya, Majma’ al Bayan fi Tafsir al-Qur’an, dalam menjelaskan asbab an-nuzul Q.S. asy-Syura/42 : 38, mengatakan bahwa kaum anshar telah biasa melakukan musyawarah, jauh sebelum zaman Islam, juga sebelum kedatangan Rasulullah ke Madinah.
Pembentukan kekuasaan legislatif dalam sistem ketatanegaraan masyarakat Muslim adalah sesuatu yang menjamin pencapaian tujuan-tujuan legislatif, menurut ayat al-Qur’an “dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam semua urusan” (Q.S. asy-Syura/42:38). Pembentukan otoritas yang demikian memungkinkan ditempuhnya berbagai cara dalam menanggapi pertanyaaan-pertanyaan yang banyak yang diajukan oleh umat seraya berusaha untuk mengetahui dasar dan prinsip tentang fondasi-fondasinya yang harus dijadikan pedoman dalam kehidupan umat Islam di dunia.
Pembentukan sistem musyawarah (lembaga legislatif) merupakan salah satu masalah yang pelaksanaannya diserahkan Tuhan kepada manusia (umat Islam). Dan umat Islam sendiri punya kepentingan untuk membentuk seperti itu dalam rangka mengakomodasi berbagai aspirasi yang muncul dari berbagai lapisan anggota masyarakat, karena sekali lagi Tuhan telah mendelegasikan masalah-masalah keumatan untuk diselesaikan oleh umat sendiri tanpa campur tangan dari-Nya. Dan ini adalah prinsip kemurahan Allah atas manusia, sehingga manusia bisa menemukan sistem yang terbaik dan sempurna untuk membangun negara dan menjalankan pemerintahan dengan bijak.
Tak pelak lagi bahwa kekuasaan legislatif telah menjadi mainstream dalam kajian kritis tentang politik Islam kontemporer yang ingin menarik gerbong umat dalam situasi dan kondisi yang memungkinkan umat untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan politik. Tidak akan pernah ada kekuasaan yang absolut dan mutlak di tangan penguasa sipil di bumi, karena yang absolut dan mutlak itu hanya kekuasaan Allah di langit. Institusi legislatif menjadi tempat orang-orang terpercaya untuk mengontrol kekuasaan eksekutif (penguasa sipil/kepala pemerintahan). Orang-orang terpercara tersebut memiliki kewenangan legislatif sebagaimana yang telah digambarkan dalam al-Qur’an surat an-Nisa’/4:83 :”Dan apabila sampai kepada mereka suatu berita keamanan ataupun ketakutan, lalu mereka menyiarkannya. Padahal kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan mereka yang memiliki otoritas (ulu al-amr) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya”.
Orang-orang yang disebut dalam al-Qur’an “orang-orang yang memiliki otoritas” atau “orang-orang yang berwenang” (those in authority) adalah orang-orang yang berada disekitar Rasul. Institusi Legislatif ini memiliki hak untuk meninjau masalah-masalah dan menarik kesimpulan hukum dalam kasus-kasus tersebut dengan metode (thariqah) interpretasi atas teks (nash) dengan mempertimbangkan pada kemashlahatan atau kepentingan umum (mashlahah ammah).

Lembaga Legislatif dan Demokrasi
Lembaga legislatif sebagai penjelmaan konsep syura di zaman modern, apakah dapat ditafsirkan sebagai demokrasi? Masalah ini menjadi ramai untuk diperdebatkan, bahkan sudah dimuali perdebatannya pada era pertengahan. Beberapa masalah yang diperdebatkan adalah : 1) apakah demokrasi Barat itu cocok dengan Islam, 2) dan apakah majlis syura (konsep modern : lembaga legislatif) sama dengan parlemen model demokrasi Barat?, 3) apakah lembaga syura (legislatif) lebih tepat diartikan sebagai dewan pertimbangan atau dewan penasehat bagi seorang penguasa atau kepala negara, 4) apakah seorang penguasa dalam pemerintahan Islam wajib memiliki suatu dewan pertimbangan, dan jika ya, apakah dewan itu ditunjuk penguasa atau dipilih rakyat, apakah bersifat konsultatif saja, atau mandataris? 5) apakah partisipasi rakyat langsung dalam proses politik, misalnya dalam pemilihan kepala negara/pemerintahan diperbolehkan dalam konsep syura? 6) apakah anggota lembaga syura (legislatif) harus dipilih oleh rakyat atau cukup ditunjuk penguasa? 7) Apakah fungsi pokok lembaga syura (legislatif)? siapa yang fit and proper (layak dan patut) menjadi anggota majlis syura, apakah ada kriteria menurut syara’?
Kontroversi di atas muncul, pertama-tama, sebagaimana dikatakan Hamka (1981), karena al-Qur’an maupun as-Sunnah tidak memberikan ketentuan rinci tentang apa bentuk kongkret syura tersebut, bagaimana proses pembentukannya dan apa fungsi dan tugasnya. Suatu bentuk pemerintahan republik yang demokratis memang diisyaratkan dari teladan para sahabt di masa Khulafa ar-Rasyidin, tetapi teladan itu pun mengandung banyak variasi. Sesudah masa itu, bentuk pemerintahan Islam ternyata adalah kerajaan, bahkan monarkhi absolut .
Faktor kedua adalah kenyataan, bahwa pada zaman modern sekarang ini, bentuk dan sistem kenegaraan dan pemerintahan di negara-negara Muslim, tidak semuanya republik demokratis. Sistem monarkhi masih ada di Arab Saudi, Marko, Yordania, Kuwait, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Seandainya telah terbentuk pemerintahan republik, maka konsep yang dipakai lebih banyak diambil dari Barat. Bahkan di negara-negara republik tertentu secara temporal terjadi praktek pemerintahan yang otoriter dan diktator.
Faktor lain yang tidak bisa diabaikan adalah kenyataan bahwa di negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, pada umumnya berada di tangan penguasa yang mengekang demokrasi. Ecara formal para penguasa di banyak negara Muslim menolak “demokrasi liberal” atau “demokrasi Barat” yang tidak atau kurang sesuai dengan kepribadian atau niali-niali yang dianut masyarakatnya. Demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi “terbatas” atau demokrasi “terpimpin” dalam satu dan lain bentuk. Dalam situasi demikian, kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi sangat terbatas dan para ulama/cendekiawan cenderung membela pendangan resmi penguasa.
Menghadapi fakta-fakta historis dan fakta-fakta yang ada sekarang ini – dari Sunnah Rasul, teladan Khulafa ar-Rasyidin - , timbulnya kerajaan-kerajaan Islam, masih bertahannya pemerintahan-pemerintahan kerajaan di beberapa kawasan Islam, juga dengan melihat kepada negara-negara kerajaan (yang menganut demokrasi-konstitusional parlementer) serta situasi politik di Indonesia sendiri, maka kebanyakan ulama dan cendekiawan Muslim cenderung berhari-hati dalam berpendapat bahwa syura – dalam arti demokrasi populis – meminjam istilah Fazlur Rahman, adalah suatu ketentuan agama. Lembaga syura itu sendiri memang tidak bisa dibantah oleh siapapun, sebagai perintah Allah dan Sunnah Rasul, tetapi bentuk dan sifatnya tidak dijelaskan secara rinci. Dan perinciannya menunggu pemikiran-pemikiran lanjutan dari para pemikir politik Islam kontemporer yang lebih cerdas, jernih dan bijak.


Referensi
 Rahardjo, Dawam, Ensiklopedi Al-Qur’an : Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-Konsep Kunci, Jakarta : Paramadina, 2002.
 Khalaf-Allah, Muhammad, “Kekuasan Legislatif” dalam Wacana Islam Liberal : Pemikiran Islam Kontemporer tentang Isu-Isu Global, Jakarta : Paramadina, 2003.
 Al-Mawardi, Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah, Kairo, tp, 1973.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar